Saya
menyebut judul diatas negeri bukan sebagai negara, karena negeri menurut saya
tidak terikat aturan formalitas seperti negara. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), negara berati (kata benda dan kata sifat) suatu organisasi
dari suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi sah dan ditaati rakyat,
yang memiliki batas-batas wilayah yang formal. Kata negara berkaitan dengan
sudut pandang politik dan pemerintahan. Sedangkan negeri berati (kata benda dan
kata sifat) sebagai tanah tempat tinggal suatu bangsa, kampung halaman, kata
negeri berkaitan dengan ilmu geografi.
Jancuk
menurut Sujiwotejo “Jancuk” itu ibarat sebilah pisau. Fungsi pisau sangat
tergantung dari user-nya dan suasana psikologis si user.
Kalau digunakan oleh penjahat, bisa jadi senjata pembunuh. Kalau digunakan oleh
seorang istri yang berbakti pada keluarganya, bisa jadi alat memasak. Kalau
dipegang oleh orang yang sedang dipenuhi dendam, bisa jadi alat penghilang
nyawa manusia. Kalau dipegang orang yang dipenuhi rasa cinta pada keluarganya
bisa dipakai menjadi perkakas untuk menghasilkan penghilang lapar manusia.
Begitupun “jancuk”, bila diucapkan dengan niat tak tulus, penuh amarah, dan
penuh dendam maka akan dapat menyakiti. Tetapi bila diucapkan dengan kehendak
untuk akrab, kehendak untuk hangat sekaligus cair dalam menggalang pergaulan,
“jancuk” laksana pisau bagi orang yang sedang memasak. “Jancuk” dapat mengolah
bahan-bahan menjadi jamuan pengantar perbincangan dan tawa-tiwi di meja makan.
Jancuk
merupakan simbol keakraban. Simbol kehangatan. Simbol kesantaian. Lebih-lebih
di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta
santainya “jancuk” kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar
kemunafikan itu (Sujiwotejo).
Menurut
Kamus Daring Universitas Gadjah Mada , istilah “jancuk,
jancok, diancuk, diancok, cuk, atau cok" memiliki makna “sialan,
keparat, brengsek (ungkapan berupa perkataan umpatan untuk mengekspresikan
kekecewaan atau bisa juga digunakan untuk mengungkapkan ekspresi keheranan atas
suatu hal yang luar biasa)”.
Kata
jancuk bila di telusur dari sejarahnya sangat panjang dan saya tak akan
menjelaskannya di tulisan ini. Saya tulis Indonesia Jancuk karena subuah
keheranan saya atas negeri ini. Indonesia adalah tanah yang sangat saya cinta
negeri besar yang selalu mengundang keheranan saya kenapa negeri ini tidak bisa
maju. Apa mungkin kata juncuk ini mempengaruhimu, untuk sesuatu yang positif
tentunya, heheuu.
Indonesia
sebuah negara besar, dengan penduduk yang banyak, beragam kebudayaan sosial,
dan bermacam kekayaan alam. Akan tetapi kita selalu merasa kecil dan kurang
percaya diri dengan sebuah negara besar ini. Indonesia itu lahir sebelum
kemerdekaan di proklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Indonesia yang
berada dalam jalur sutra perdagangan Tiongkok sejak jaman kerajaan dulu sudah
banyak dilirik oleh penjajah yang ingin menguasai Indonesia. Tidak hanya itu
mereka juga mengincar hasil alam dari indonesia yang berupa rempah-rempah.
Rempah-rempah di Indonesia sejak dulu dikenal baik dan bisa menghasilkan dalam
jumlah yang cukup banyak.
Selain
kekayaan alam Indonesia juga memiliki keindahan alam yang sangat menakjubkan
karena terletak diantara garis khatulistiwa, iklim tropis yang begitu
menyenangkan banyak orang yang ingin menikmati keindahan alam Indonesia.
Menikmati sinar hangat matahari di Indonesia. Ini justru kebalikan bagi orang
Indonesia mereka terlalu malu untuk menikmati keindahan alam Indonesia, banyak
dari kita yang justru malah bangga dengan keadaan di luar negeri dan berwisata
di luar negeri. Mungkin karena gengsi dan biaya yang lebih murah.
Lihat
indahnya laut indonesia seperti di wilayah bali, lombok, borneo, karimun jawa,
raja ampat, dan pantai2 lain yang tersebar di wilayah selatan pulau jawa
ataupun yang pulau lainnya. Pantai yang menjadi simbol keindahan alam tanah air
kita, hanya dijadikan sebagai ajang untuk liburan untuk wisata secara lariyah.
Mereka yang berlibur ke pantai datang air bermain pasir, seperti buih mereka
hanya datang untuk melepas kesumpekan yang mereka rasakan dalam kesehariannya.
Keindahan
pantai itu tak benar benar mereka nikmati secara batianiah, bahwa laut dan
pantai itu mencirminkan keadaan semesta yang begitu luasnya. Kita hanya ibarat
buih di pantai dengan lautan yang luas. Betapa kecilnya kita, tapi kenapa masih
juga sombong. “(Manusia itu ibarat buih
yang hanya beriuh rendah di pantai tanpa menyadari adanya lautan. Seperti bumi
ini hanya bagian kecil dari alam semesta)”. Bahkan keindahan pantai yang
mereka nikmati itu tidak dijaga, banyak yang meninggalkan sampah di pantai
tanpa mereka sadari itu bisa merusak keindahanya.
Alasan
untuk pergi berwisata ke alam adalah untuk menikmati ciptaan Tuhan untuk
mengakui keindahan ciptaan Tuhan, tapi mereka mengingkari itu banyak yang malah
justru merusaknya. Lawong dalam keseharian saja banyak yang meninggalkan rumah
Tuhan (rumah ibadah), kok kalau berwisata ngakunya mau menikmati alam yang indah
ciptaan Tuhan, Apa gak Jancuk itu namanya???.
Negara besar dengan sejuta kesemrawutanya ini
belum cukup dewasa untuk mengetahui dirinya, orang-orang penting yang ada di
dalam negeri ini masih sibuk mencari nama untuk diri dan golongannya. Hanya
sesekali bicara tentang keindahan indonesia. Sedikit bumbu atas nama rakyat dan
kemakmuran, mereka mengeruk keuntungan dari program yang akan mereka jalankan,
dan tak banyak yang bisa mengevaluasi program-program kerja yang akan mereka
jalankan itu apakah mengenai sasaran tentang kemakmuran atau tidak.
Negara
memungut pajak dari rakyatnya, dan pemungutan yang besar itu berasal dari
perusahaan yang ada di Indonesia, tapi tidak sedikit perusahaan yang
mempermainkan pungutan pajaknya yang untuk kesejahteraan karyawanya, itu
pembelaan perusahaan berdasarkan tax planning yang pernah saya pelajari dulu.
Tax planning di negeri ini memang legal tapi menurut saya itu celah melegalkan
suatu yang ilegal, heheuu.
Pajak
dan kekayaan alam Indonesia sebenarnya sudah sangat cukup untuk membuat
masyarakat indonesia adil dan makmur secara merata, kalau saja pelaksanaanya
benar sesuai dengan konstitusi negara kita. Uang pajak seharussnya bisa
menyediakan fasilitas yang bisa merangsang kreativitas warga negara terutama
anak muda, berikan ruang untuk berekspresi bukan ruang untuk berkorupsi.
Atas
nama kemakmuran tidak sedikit dari masyarakat kita yang mengejar kemakmuran
sampai ke luar negeri walaupun dengan ilmu dan keahlian yang pas-pasan sebut
saja Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dengan iming – iming gaji yang besar mereka
bersedia pergi menjadi TKI. Andai saja negara di dunia ini seperti negara –
negara di eropa yang tidak menerima TKIvmungkin saja Indonesia sudah jadi
negara maju, karena Indonesia tidak bisa mengekpor komoditi berharganya yaitu
TKI ke luar negeri.
Tanah
yang subur ini, saat ini banyak dipercayakan pengelolaannya kepada orang –
orang asing, perusahaan besar di Indonesia banyak di miliki orang asing.
Masyarakat kita hanya jadi pembantu di negeri sendiri, mungkin TKI itu
menganggap lebih bermartabat jadi pembantu di negeri orang dari pada jadi
pembantu di negeri sendiri. Ini sangat ironis, seharusnya pemerintah bisa lebih
menciptakan banyak peluang dan lapangan kerja bagi mereka karena Inonesia ini
adalah negeri yang subur.
Pemerintah
harus bisa mencetak pengusaha – pengusaha muda, jadikan profesi petani dan
nelayan itu profesi yang lebih unggul dari pada Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Selama ini terlalu banyak uang negara habis untuk mensejahterkan aparaturnya
sehingga lupa mensejahterakan rakyatnya. Ciptakan iklim yang bisa membuat anak
mudanya tidak bermalas-malasan dan tidak bergantung dengan pendidikan formal
mereka.
Masyarakat
negeri ini terlalu sibuk memikirkan isi perutnya sendiri, saat lapar saja sudah
tidak peduli apalagi ketika kenyang mereka semakin lupa dengan tanggung jawab
untuk negerinya. Tempat dimana mereka tinggali hanya jadi sebuah tempat berpijak
tanpa ada rasa ingin merawat dan menjaga alam termasuk peduli dengan orang
lain. Mereka hanya bisa merusak dan merusaknya. Rusaklah semua, negeri dengan
air yang berlimpah kini banyak yang kekuarangan air bersih, negeri dengan sawah
yang luas kini banyak impor beras, negeri yang luas dengan pemikirin sempit
masyarakatnya, negeri surga ini sepertinya mau direbut dengan cara pembodohan
masyarakat secara perlahan lahan. Kita tak mau itu terjadi tapi perilaku kita
mendukung itu terwujud. Damn!!
Sebagai
contoh buang sampah sembarangan, kita sering kali tak peduli dengan sempah
sekecil apapun ketika musim kemarau, akan tetapi saat musim hujan tiba
sampah-sampah yang menumpuk itu bisa menyebabkan banjir dan kerusakan
lingkungan. Dan ketika banjir itu datang alamlah yang dijadikan kambing hitam,
bukannya dijadikan introspeksi. Itulah yang selalu terjadi setiap tahunnya.
Kemudian kita baru peduli dan bergotong royong untuk membersihkan sampah.
Seharusnya
negeri ini masif dalam mengampanyekan gerakan jangan buang sampah sembarangan,
bukannya masif kampenya dalam pemilihan caleg saja. Lawong batu akik saja bisa
menjamur di negeri ini, kenapa kampenya jangan buang sampah sembarangan tidak
bisa. Apa gak jancuk itu namanya??
Ada
sebuah cerita tentang sampah dari temen saya, nama panggilanya “babe”.
Rambutnya yang kriting dan tingkahnya yang unik dan berkomitmen terhadap suatu
masalah yang mungkin remeh bagi orang lain. Pernah suatu ketika dia bercerita,
saat berada di loker perusahaan tempat dia bekerja, dia selalu memunguti sampah
plastik bekas makanan atapun bungkus permen disekitar tempat itu dan
membuangnya di tempat sampah. Dan ketika itu juga ada seorang temannya yang
menyeletuk “mbok biaran aja sampahnya di situ, lagian juga ada petugasnya yang
memunguti sampah, kamu ga usah repot-repot” (kalimat itu diucapkan dalam bahasa
jawa). Tak hanya itu orang2 disekitarnya juga melihat dengan penuh keheranan,
dan mungkin berkata dalam hati “orang yang aneh”.
Si
babe itu pun tak menggubris pernyataan temannya, malah sampah plastik bekas
makanan yang masih berserakan di sekitar tempat sampah dia punguti dan
dimasukkan dalam tempat sampah. Sampai saat ini setelah saya konfirmasi dia masih
melakukan hal itu dan dia juga suka mengantongi bungkus permen yang dia makan
ketika tak ada tempat sampah, dan membuangnya selagi nemu tempat sampah. Dari
contoh kecil si babe tadi dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa melakukan hal
yang baik dan itu malah dianggap tabu oleh orang di sekitar kita. Suatu hal
yang salah akan menjadi benar ketika itu terus menerus dilakukan, dan hal
kebenaran yang sejati akan menjadi salah. Apa ga jancuk masyarakat yang seperti
itu??? dan mungkin saya juga termasuk masayakarat yang jancuk itu tapi tipis,
heheuu.
Sampah
suatu yang remeh temeh tapi penting. Coba bayangkan jika di pemukimanmu tidak
ada tukan sampah keliling yang bersedia membuang sampah raumah tanggamu. Pasti
kalian akan membuang sampah itu di kali (sungai), itu tidak menyelesaikan
msalah tapi malah menambah masalah. Masih ada lho warga yang membuang sampah
rumah tangganya di kali (sungai). Kok ga ada petugas yang berwenang yang
memberitahu dan menegurnya. Hei para pamong negara buatlah aturan yang mengikat
tentang membuang sampah terutama sampah rumah tangga.
Selain
belum dewasa, negeri ini juga latah, salah satu contoh latah yang paling hidup
yang konsumerisme. Budaya konsumtif sudah melekat pada masayarakat kita. Kita
membeli sesuatu barang bukan untuk menikmati fungsi barang itu tapi justru
lebih banyak ingin pamer dan buat gaya2an biar keliatan gaul dan modern.
Bersaing untuk menjadi manusia yang super modern dan tidak ketinggalan jaman
dengan menerobos etika-etika yang ada. Latah budaya dan bahasa, kita tahu akhir-akhir
ini banya budaya luar negeri yang masuk ke indonesia, salah satu yang paling
berpengaruh adalah K-pop. Budaya dari negeri gingseng itu secara masif masuk ke
Indonesia tanpa bisa kita filter.
Selain
budaya dari negeri gingseng, budaya dari India akhir-akhir ini menyerbu kedalam
media di tanah air. Cerita tentang wayang Ramayana dan Mahabharata dibungkus
secara modern dan menarik perhatian kalangan pecinta sinetron, menurut saya bukan
karena ceritanya tapi karena pemainnya. Cerita wayang Ramayana dan Mahabharata
di Indonesia ini saya yakin lebih menarik karena ada sosok punokawan (Semar,
Gareng, Petruk, dan Bagong) yang lucu dan penuh nasihat yang selalu menjadi
tokoh dalam “goro-goro”. Cerita wayang dari tanah airpun sekarang semakin
sedikit orang yang mengenalnya. Mungkin karena sangat terbatasnya ruang dan
media untuk mementaskanya. “Trok tok tok
tok biaya mengundang dalang mahal harganya cuk”, (terdengar suara aneh yang
masuk dalam pikiranku).
Masyarakat
menganggap budaya luar itu keren, gaul, modern, la “ndasmu” itu yang keren, bangga kok dengan budaya orang lain, tanpa
kamu mengerti budaya kita sendiri, tanpa kamu kenal budaya kita sendiri, atau
mungkin memang budaya kita yang tidak memeperkenalkan diri semasif budaya
korea. Apa hal seperti ini ga jancuk namanya?. Atau, mungkin mereka menganggap
budaya kita itu kuno. Kita punya seabrek budaya yang kalau dipelajari akan
lebih lama dari pada mempelajari terpisahnya korea jadi dua bagian utara dan
selatan.
Gadget
dan smartphone banyak yang tidak digunakan sebagai mana fungsinya yang utama,
banyak dari kita yang hanya menggunakanya pada takaran fungsi yang bukan utama.
Padalah provider di negara ini belum siap menyambut kehadiran smartphone yang
fungsi dari benda itu berbasis internet.
Bermacam
informasi bisa kita peroleh dengan cepat, secepat kilat sebelum guntur datang
menggelegar. Banyak dari kita yang memporelah informasi itu di telan
mentah-mentah, tidak jelas sumber kebenaranya, pokoknya langsung kita terima
dan bahkan langsung pula kita sebarkan semacam gosip. Lhah memangnya kalian ini
presenter berita atau atau infotainment kok main sebar menyebar informasi
seperti kalau di media sosial namnya broadcast message. Jadilah pengguna
smarphone yang cerdas, jangan cuma ikut-ikutan. Sepertinya kata “we live in the era of smartphone and stupid
people”.
Tak jarang pula informasi yang belum jelas
kebenaranya itu memacu timbulnya konflik. Dan terkadang media justru
memperbesar konflik tanpa ada penyelesain bersama yang jelas dan saling
merangkul. Media hanya menggambarkan perbedaan-perbedaan informasi atau
pendapat yang ga jelas arahnya untuk sebuah persatuan.
Televisi
yang selalu menyiarkan budaya negara lain, itu salah satu contoh pembodohan
masyarakat. Pemerintah tidak memfilternya, ini mendorong terkikisnya nilai
budaya bangsa Indonesia, kita bangsa yang mempunya ratusan bahkan ribuan budaya
yang tak dibina atau diberi kesempatan lebih untuk bisa tampil di negerinya
sendiri. Justru malah budaya asing yang diberi posisi lebih untuk bisa
memperkenalkan diri.
Tayangan
televisi yang sudah tidak lagi mempedulikan aspek budaya lokal, televisi yang
hanya hanya mementingkan perutnya sendiri. Banyak program televisi yang tak
mencerminkan Aku Cinta Indonesia. Mungkin bagian luarnya mereka bungkus dengan
aspek budaya Indonesia tapi isi cerita sama sekali melenceng dari budaya
masyarakat Indonesia.
Tanah
air yang kucintai ini tidak bisa menjadi maju oleh satu atau sekelompok orang
yang peduli dengan Indonesia, harus ada peran dari semua warga negara. Peradapan
suatu bangsa dapat dirubah dengan semua dukungan dan peran serta rakyatnya. Kekecewaan
terhadap pejabat negara dan pemerintahan jangan dijadikan sikap apatis terhadap
bangsa dan negara ini. Melalui budaya kita bangun kembali Indonesia jadi lebih
baik dan maju. Melalui peran serta sesuai dengan keahlian kita masing-masing,
wujudkan Nusantara yang sejahtera.
Akan
tetapi terkadang saya berpikir warga yang tak peduli dengan kondisi negaranya
itu memang menginginkan Indonesia tidak maju, menginginkan Indonesia hanya
sebagai negara dunia ketiga. Mereka berpikir toh negara juga tak pernah
mengurusi perut warganya. Atau mereka yang apatis itu hanya ingin menikmati
hasilnya tanpa harus berperan. Jangan jadi rakyat yang tidak siap mengisi
kemerdekaan, atau jangan jadi rakyat yang salah dalam mengisi kemerdekaan
karena kemerdekaan bukan kebebasan yang tak terbatas. Untuk generasi muda jadilah
rakyat yang berperan, dan banggalah untuk “mengindonesiakan Indonesia”.
Salam J#cuk
Aku Cinta Indonesia!!
schTz
03.06.2015
Luar biasa sekali ini artikel
BalasHapusTerimakasih sudah mampir, walaupun sepi komentar.. heheuu
Hapus