Minggu, 28 Februari 2016

Kantong Plastik berbayar, apakah kebijakan “Kantong Bolong” ?

Jangan Buang sampah Sembarang   




Kantong plastik adalah pembungkus yang terbuat dari plastik yang digunakan untuk memuat atau membawa barang konsumsi. Kantong plastik selalu kita dapatkan ketika kita berbelanja di warung atau di supermarket secara gratis karena ketika kita berbelelanja tidak membawa tas sendiri untuk memuat barang belanjaan kita. Akhir-akhir ini muncul kebijakan pemerintah dan Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (APRI) yang sepakat memberlakukan penggunaan kantong plaastik berbayar seharga Rp 200,- per lembar alasannya adalah untuk mengurangi limbah sampah plastik, kebijakan mulai 21 Februari 2016 yang bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional.

Ilustrasi cerita :
Hari sabtu kemarin gareng mengantar istrinya yang bernama dewi sariwati ke minimarket. Sudah sejak 7 tahun yang lalu dusun blulukthibo tempat gareng tinggal didatangi minimarket yang masuk desat. Gareng mengantarkan istrinya untuk membeli susu formula dan popok untuk anaknya yang masih bayi. Gareng menunggu di luar, setelah hampir 30 menit istrinya tidak keluar gareng pun menyusul istrinya masuk ke dalam minimarket tersebut. Tak disangka istrinya sedang ribut dengan kasir lantaran istri gareng dewi sariwati tidak mau membayar kantong plastik yang mulai di bebankan ke pembeli sebesar Rp 200 per lembar.
Gareng dengan muka merah langsung bertanya, ada apa ini kok ribut ribut. Begini pak gareng, kasir minimarket yang diketahui bernama Waidehi itu langsung menjelaskan kepada Gareng, mulai tanggal 21 Februari 2016 kemarin pemerintah sudah menetapkan bahwa minimarket harus melakukan biaya tambahan atas pemakain kantong plastik, pemerintah sedang mengkampanyekan diet plastik, agar sampah plastik tidak menumpuk di negeri ini.
Dengan penjelasan itu gareng makin naik pitam terhadap penjelasan Waidehi. Kenapa sih mbak, kok rakyat kecil lagi yang harus menanggung segala sesuatu yang menjadi kebijakan pemerintah, kita ini rakyat sudah bayar pajak ke pemerintah, pajak ini itu, pajak anu pajak ani, dll. Kenapa pemerintah tidak menerapkan tarif lebih aja pada perusahaan2 makanan yang memakai kemasan plastik, seperti misalnya plastik makanan ringan seperti kacang, plastik minyak goreng itu plastiknya lebih tebal dari kantong plastik yang di pakai buat membawa barang belanjaan dan yang pasti lebih lama lagi terurainya. Botol minuman itu juga termasuk plastik yang menjadi sampah tak berguna yang mencemari lingkungan kalau tidak di kelola dengan baik, dan akan menjadi sampah yang menggunung yang tidak mudah terurai. Perusahaan perusahaan penyumbang kerusakan lingkungan itu pun ternyata luput dari perhatian pemerintah. Sampah-sampah produksi yang dihasilkan perusahaan itu apa benar sudah dikelola dengan baik???. Dan ini pertanyaan yang tidak usah kamu jawab mbak. Kasir itu pun tersenyum kecut tapi tidak mengurangi kecantikannya.
Bukannya kita tidak mampu mampu bayar mbak, tapi kebijakan ini saya rasa tidak tepat. Masyarakatnya saja masih bayak yang sering buang sampah sembarangan, apa benar dengan adanya kebijakan ini nantinya sampah plastik akan berkurang, nantinya cuma sampah kantong plastik berkurang tapi sampah plastik lainnya tetep saja malah bertambah banyak. Waidehi kasir minimarket jelmaan dewi widowati yang cantik itu pun terdiam, dan Gareng membayar kemudian pergi.

Terlepas pro dan kontra mengenai ilustrasi cerita diatas, terlepas juga efektif atau tidak tentang kebijkan ini, saya akan menyoroti beberapa hal masalah sampah. Indonesia memiliki masalah serius dengan sampah. Jumlah sampah yang dihasilkan setiap hari di ibukota saja bisa mencapai 6,000 ton dan tumpukannya bisa sebesar 30,000 meter kubik - lebih dari setengah ukuran candi Borobudur. Rata-rata pemakaian kantong plastik per orang di Indonesia adalah 700 lembar per tahun. Sampah kantong plastik saja di Indonesia mencapai 4000 ton per hari atau sama dengan 16 pesawat Boeing 747, sehingga sekitar 100 milyar kantong plastik terkonsumsi per tahunnya di Indonesia. Produksi kantong plastik tersebut menghabiskan 12 juta barel minyak bumi yang tak bisa diperbaharui, yang setara dengan 11 Triliun rupiah. (Sumber: Yahoo! Indonesia dan Greeneration Indonesia).
Awal mula kebijakan ini hadir karena jumlah sampah yang sangat besar di Indonesia dan sampah yang tidak terkelola secara baik. Menurut saya, dari pada membuat kebijakan kantong plastik berbayar, lebih baik membuat kebijakan buang sampah sembarangan kena denda, tapi saya rasa memang sulit sih untuk membuat kebijakan buang sampah sembarangan dikenakan denda. Alasannya adalah pengawasan yang sulit serta mental masyarakat kita yang tidak sadar akan bahaya sampah terhadap pencemaran lingkungan hidup, bahkan di ibukota pun yang setiap tahun banjir yang 50% lebih penyumbangnya adalah sampah yang menggenang di sungai, itupun masayarakatnya tetap saja enjoy buang sampah sembarangan, padahal sudah tahu dampak nyata yang diakibatkan.
Sampah-sampah rumah tangga yang ada di masyarakat kita masih tercampur antara sampah organik dan sampah non organik (sampah kertas, sampah plastik, dan sampah organik) masih gabung jadi satu dalam satu tempat sampah. Di Tempat pembuangan sampah, semua carut marut antara sampah yang masih bisa di daur ulang dan sampah yang sudah tidak bisa di daur ulang, hanya lewat pemulung lah sampah2 itu di sortir.
Saya rasa pengelolaan sampah belum cukup merata, dan gerobak sampah atau mobil-mobil sampah jarang dan hampir tidak pernah masuk ke desa-desa ke kampung-kampung, banyak masyarakat desa yang membuang sampahnya adalah dengan cara di bakar. Cara membakar itupun juga dilakukan kalau pas waktu longgar, kalau sibuk banyak dari masyarakat desa yang membuang sampahnya langsung ke sungai begitu saja, dan hal itu dilakukan secara berjamaah. Mobil sampah atau gerobak sampah hanya masuk ke perumahan dan perkotaan.
Kembali ke masalah kantong plastik, ada beberapa pendapat teman yang menyebutkan bahwa kebijakan ini nanggung karena harga kantong plastik cuma Rp 200, kenapa tidak sekalian harganya Rp 5.000 biar masyarakat sadar dan membawa kantong atau tas sendiri untuk membawa barang belanjaan. Masalahnya bukan di harganya, apa benar dengan harga segitu orang yang mampu tidak mau membayar kantong plastik dan bisa dipastikan bahwa mereka sadar akan sampah plastik.
Selain itu ada pendapat lain dari teman yang menyebutkan bahwa masyarakat kita  sudah lama dimanjakan dengan “tas kresek” (kantong plastik) yang ternyata itu dapat merusak tempat kita berpijak. Karena kata para ahli sampah plastik butuh waktu puluhan tahun agar bisa terurai lagi. Sebernarnya beberapa pedagang ritel dati tahun tahun lalu sudah menjual tas go green yang terbuat dari kain tapi ternyata tidak laku, lagi-lagi karena kita sudah dimanjakan dengan kantong plastik. Dengan adanya kantong plastik berbayar minimal kita bisa mengurangi penggunaan kantong plastik.
Semoga saja kebijakan ini nanti kedepannya banyak perbaikan demi kepentingan bersama agar kebijakan ini tidak sekedar menjadi kebijakan “kantong bolong” yang tidak ada gunanya bagi masyarakat. Kalau saya sih mulai dari diri sendiri saja biasakan jangan buang sampah sembarangan walaupun itu cuma bungkus permen, dan bagi para perokok jangan buang putung rokok sembarangan. Selain itu biasakan juga memilah sampah organik dan un organik, biar tempat-tempat sampah yang ada di trotoar jalan itu tidak semata-mata menjadi hiasan pemanis trotoar saja.

“Tidak ada hal besar yang berhasil diraih jika hal kecil diabaikan”.
-Salam Sampah-  


schTz
28.02.2016



Share: