Senin, 15 Juni 2015

Singgasana Semua Manusia



Kukuruyuk kok kok kok petok petok suara ayam berkokok dibalik lahan jagung, menandakan hari sudah pagi. Rumput-rumput segar kembali berhias embun pagi, begitu juga daun-daun ada setitik air di ujungnya. Matahari mulai menyulam hari, sinarnya melelehkan udara dingin di pagi hari.
Seperti biasa Gareng tak pernah tepat dalam menjalankan ibadah di pagi hari, dia pun langsung bangun dengan ekspresi kaget “lhoh uwes isuk to cuk”, kemudian bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan ibadahnya. Padahal hampir setiap pagi dia terlambat bangun, dan gak bosan-bosannya laki-laki perantau ini kaget, mungkin hanya pencitraan. Kamar kos yang sempit itu sudah dimasuki cahaya matahari. Kamar yang berisi satu kasur, satu bantal, dan satu guling dan peralatan lainya selalu terlihat rapi untuk ukuran seorang laki-laki.
Pagi adalah waktu dimana gareng dan teman-teman kosnya petruk, bagong, togog, dan bilung berebut dan antri untuk mendapatkan singgasananya. Mereka selalu berebut dan tak pernah mau antri seperti pembagian zakat yang dilakukan oleh orang-orang kaya itu.
Entah kenapa kalau pas pembagian zakat atau pembagian yang lain yang berupa uang atau makanan orang-orang di negeri ini selalu berebut dan tak pernah mau antri. Semisal pembagian nasi bungkus, pembagian takjil, dan pembagian BLT (Bantuan Langsung “Telas”), “telas” artinya habis. Mereka selalu berebut, mungkin itu juga pencitraan biar terlihat “gayeng”. Media pun jadi punya bahan pemberitaan untuk sesuatu yang disebut “gayeng” itu. Sepeti ada gula ada semut, dimana ada kegayengan disitu pasti ada media.
Lhoh pagi itu bukan uang atau pun makanan yang direbutkan gareng dan kawan-kawanya. Pak Dursasana selaku pemilik kos menanyakan itu kepada gareng. Pak Dursana yang berkumis tebal yang menginspirasi tokoh pak Raden ini menanyakan dengan wajah sangar. “Reng, ngopo to kowe lan konco-koncomu kui angger isuk mesti kok gawe geger kos-kosan wae”. Belum sempat gareng menjawab, terdengar suara celetukan bagong dari belakang “Ora popo pak ben gayeng wae”, Gereng pun menambahi celetukan bagong iya pak biar “gayeng” aja, siapa tahu nanti ada media yang meliput rumah kosnya Pak Dursasana, kan Pak Kumis panggilan akrab Pak Dursasana di kampung nanti bisa terkenal seperti calon Pak Kapolri dulu itu. “Woo lha bocah-bocah edan”, Pak Dursasana pun berkata sambil melangkah pergi untuk memberi makan ayam-ayamnya yang berada di dekat lahan jagung miliknya
Dalam urusan berebut singgasana gareng selalu menjadi yang nomer wahid di setiap paginya, karena  kamar kos gareng terlatak di samping kamar mandi. Singgasana itu di dalam kamar mandi. Di depan kamar mandi ada tempat untuk mencuci baju, dan biasanya sambil menunggu gareng keluar dari singgasana petruk mencuci gelas dan pring di depan kamar mandi. Togog dan Bilung selalu bersama-sama untuk mencuci baju, walaupun bukan saudara kembar togog dan bilung ini adalah sahabat sejak TK kemana-mana mereka selalu berdua sampai kuliah pun mereka sejalan untuk mengambil universitas dan jurusan yang sama.
Sementara bagong hanya “klepas-klepus” menikmati rokok dan “nyruput” kopinya sambil sesekali berteriak “ndang cepet reng, nek ngising rasah suwe-suwe rasah kakean mikir nek neng njero”. Gareng memang sesosok orang yang intelek di selalu memikirkan apa yang menjadi ganjalan di pikiranya, termasuk saat dia berada di dalam kamar mandi.
Tak heran kalau kamar mandi dia sebut dengan ruang inspirasi atau bilik perenungan, dan WC dia sebut sebagai singgasana. Menurut gareng selagi kita berada di atas singgasana tak hanya kotoran dalam perut yang dikeluarkan tapi pikiran dan uneg-uneg kadang muncul di tempat itu dan di waktu itu. Tak jarang dari singgasana itu ide-ide brilian manusia tercipta.
Manusia punya singgasana yang selalu mereka duduki, tapi tak jarang mereka hanya menganggap subuah proses kehidupan yang kotor. Singgasana hanya sebuah buangan yang tak bermakna dan kotor, bukankah hal yang kotor adalah sesuatu yang bisa kita jadikan perenungan, kita tak mungkin bisa mengerti tentang bersih kalau tak mengatahui apa itu kotor.
Bukankah setiap manusia punya kentut dan punya kotoran untuk dikeluarkan, manusia adalah makhuk yang selalu kotor dan lebih kotor dari kotorannya sendiri kenapa masih ada manusia yang selalu merasa suci. Kita manusia kotor yang berusaha menjadi bersih tanpa harus benci terhadap apa yang disebut kotor. Dan WC adalah singgasana semua manusia di atas situlah manusia bebas berimajinasi apapun dan bebas memikirkan apapun seperti raja yang bebas melakukan apapun sesuai kehendak hatinya.
Sambil menunggu kotoraan yang keluar dari perutmu kalian juga bebas mengeluarkan pikiran-pikiran yang kalian rasakan. Di singgisana itu walau raga kalian terpojok oleh hiruk pikuk dunia yang penuh ilusi ini, tapi di singgasana itulah pikiran kalian bebas.
Sambil nerocos tak karuan kepada bagong, tiba-tiba gareng membacakan puisi dengan lantang sambil “ngeden”, berikut cuplikan puisi gareng kepada bagong:



Ruang Inspirasi

Ditumpuk, ditimbun, dan kemudian dibakar
Pikiran ini menggumpal seperti sampah
Tak wajib dilenyapkan tapi harus dikeluarkan
Dikeluarkan bersamaan dengan sampah di perutmu

Melayang dan menyebar kesana kemari
Seperti awan yang bergerak mencari tujuan berlabuh angin ribut
Seperti awan yang akan menjadi butiran hujan yang menyejukkan
Pikiran ini harus dijatuhkan
Harus diturunkan seperti harga sembako menjelang puasa dan lebaran
Diturunkan bersamaan sampah di perutmu
Biar tak menjadi uap panas yang menggerahkan

Titik-titik, sudut-sudut, sela-sela
Hampir tiada lagi tempat untuk disinggahi
Semua penuh, semua sesak seperti kota metropolitan
Penuh dengan manusia, penuh dengan kendaraan, penuh dengan asap,
Dan pasti penuh dengan kotoran
Kotoran yang mereka ciptakan sendiri dan kemudian mereka buang lagi
Hanya untuk sebuah ambisi pemenuhan isi perut
Yang tak disadari bahwa perut tak lain adalah pencipta kotoran

Terdiam, di dalam bilik perenungan
Hanya tempat ini yang menjadi sebuah jawaban
Sebuah ruang inspirasi yang pengap
Konsentrasi, hanya butuh sedikit waktu untuk mengakhiri
Booooom, semua keluar berhampuran dan berserakan
Seperti serangan Pearl Harbor pangkalan angkatan laut amerika di Hawaii
Pikiran dan sampah perut pun keluar dibalik bilik
Inilah yang dinamakan “ngising”.


Bagong tak menggubris dia hanya memainkan asap rokoknya dari mulut yang krmudian dia keluarkan dengan bentuk lingkaran, dan sesekali asap yang dia keluarkan dia hisap kembali melalui hidung. Kopi di cangkir bagong sudah habis dan gareng tak kunjung keluar dari singgasananya. Hei blok, berapa lama lagi kamu akan keluar dari singgasanamu. Kamu bukan presiden yang wajib merungkan apa yang menjadi masalah di negeri ini, kamu itu hanya kotoran-kotoran mambu yang tak mungkin tercium dan dicium oleh hidung pengusa yang sudah tertutup dengan bau sedapnya uang.
Kamu jangan lebay reng, jangan kayak anggota DPR yang sok beraspirasi buat rakyatnya, mereka membutuhkan dana aspirasi sebesar Rp 20 M setiap tahunnya. Alasanya sih untuk menyejahterakan dapilnya masing-masing. Mau jadi pahlawan buat dapil-dapilnya. Memangnya di dapil itu tidak punya kepala daerah. Pengusa-pengusa negeri ini sudah mulai tumpang tindih tugasnya reng, apa kamu akan memikirkan mereka yang tak memikirkan nasib kita yang tidak tahu besok mau makan apa??.  Haaaa
Yang terpenting saat ini adalah kamu itu harus segera keluar dari singgasanamu itu. Kami ini juga mengantri untuk “ngising”, kami juga punya uneg-uneg, bukankah setiap manusia yang waras itu juga perlu uneg-uneg, “ngerti opo ora Cuk??”, Bagong berteriak keras. Jangan kayak Pak Harto kalau sudah duduk di singgasana tak mau turun-turun. Apa kami harus menunggu 32 tahun hanya untuk sekedar “ngising”.
Suatu hari petruk, bagong, togog, dan bilung yang tak tahan dengan kelakuan gareng ketika di kamar mandi lapor kepada Pak Kumis. Sebelum lapor mereka berunding dengan gareng untuk membuatkan surat permintaan WC kepada Pak Kumis, dan gareng pun menyetujuinya.
Akhirnya greng membuat surat permintaan kepada Pak Kumis selaku pemilik kos, Greng dkk meminta agar Pak Kumis membuat WC lebih dari satu syukur2 bisa membuat WC berjumlah 5, agar tidak terjadi keributan lagi disetiap paginya.
Gareng juga menambahkan kata-kata pesan kepada Pak Kumis dalam surat permintaanya itu WC adalah tempat sampah yang paling dibutuhkan manusia. Singgasana itu tak kalah pentingnya dengan TPA Putri Cempo di kota Solo. Manusia adalah pencipta sampah, jangan lupakan sampah dan kotoranmu karena sampah dan kotoran bisa membunuhmu. Gak percaya coba kamu gak “ngising” selama seminggu pasti ada ambulan ngiung ngiung yang mendatangimu. Heheuu terdanda anak2 kosmu yang edan: Gareng, Petruk, Bagong, Togog, dan Bilung.
Pak Dursasana orang yang dikenal pelit itu pun menanggapi surat permintaan Gareng dkk, wah kalo permintaan kalian saya kabulkan nanti tempat kos ini jadi gak gayeng lagi dong, dan gak akan mungkin ada media yang mau meliput. Gereng tak kalah akal, yasudah kalau tak mau, kami berlima akan pindah tempat kos, ancam gareng. Akhirnya Pak Kumis setuju dan seminggu kemudian WC tambahan itu dibangun,



schTz
15.06.2015
Share:

Rabu, 10 Juni 2015

Indonesia, Negeri J#ncuk yang kucinta! (part 1)



Saya menyebut judul diatas negeri bukan sebagai negara, karena negeri menurut saya tidak terikat aturan formalitas seperti negara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), negara berati (kata benda dan kata sifat) suatu organisasi dari suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi sah dan ditaati rakyat, yang memiliki batas-batas wilayah yang formal. Kata negara berkaitan dengan sudut pandang politik dan pemerintahan. Sedangkan negeri berati (kata benda dan kata sifat) sebagai tanah tempat tinggal suatu bangsa, kampung halaman, kata negeri berkaitan dengan ilmu geografi.
Jancuk menurut Sujiwotejo “Jancuk” itu ibarat sebilah pisau. Fungsi pisau sangat tergantung dari user-nya dan suasana psikologis si user. Kalau digunakan oleh penjahat, bisa jadi senjata pembunuh. Kalau digunakan oleh seorang istri yang berbakti pada keluarganya, bisa jadi alat memasak. Kalau dipegang oleh orang yang sedang dipenuhi dendam, bisa jadi alat penghilang nyawa manusia. Kalau dipegang orang yang dipenuhi rasa cinta pada keluarganya bisa dipakai menjadi perkakas untuk menghasilkan penghilang lapar manusia. Begitupun “jancuk”, bila diucapkan dengan niat tak tulus, penuh amarah, dan penuh dendam maka akan dapat menyakiti. Tetapi bila diucapkan dengan kehendak untuk akrab, kehendak untuk hangat sekaligus cair dalam menggalang pergaulan, “jancuk” laksana pisau bagi orang yang sedang memasak. “Jancuk” dapat mengolah bahan-bahan menjadi jamuan pengantar perbincangan dan tawa-tiwi di meja makan.
Jancuk merupakan simbol keakraban. Simbol kehangatan. Simbol kesantaian. Lebih-lebih di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta santainya “jancuk” kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar kemunafikan itu (Sujiwotejo).
Menurut Kamus Daring Universitas Gadjah Mada , istilah “jancuk, jancok, diancuk, diancok, cuk, atau cok" memiliki makna “sialan, keparat, brengsek (ungkapan berupa perkataan umpatan untuk mengekspresikan kekecewaan atau bisa juga digunakan untuk mengungkapkan ekspresi keheranan atas suatu hal yang luar biasa)”.
Kata jancuk bila di telusur dari sejarahnya sangat panjang dan saya tak akan menjelaskannya di tulisan ini. Saya tulis Indonesia Jancuk karena subuah keheranan saya atas negeri ini. Indonesia adalah tanah yang sangat saya cinta negeri besar yang selalu mengundang keheranan saya kenapa negeri ini tidak bisa maju. Apa mungkin kata juncuk ini mempengaruhimu, untuk sesuatu yang positif tentunya, heheuu.
Indonesia sebuah negara besar, dengan penduduk yang banyak, beragam kebudayaan sosial, dan bermacam kekayaan alam. Akan tetapi kita selalu merasa kecil dan kurang percaya diri dengan sebuah negara besar ini. Indonesia itu lahir sebelum kemerdekaan di proklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Indonesia yang berada dalam jalur sutra perdagangan Tiongkok sejak jaman kerajaan dulu sudah banyak dilirik oleh penjajah yang ingin menguasai Indonesia. Tidak hanya itu mereka juga mengincar hasil alam dari indonesia yang berupa rempah-rempah. Rempah-rempah di Indonesia sejak dulu dikenal baik dan bisa menghasilkan dalam jumlah yang cukup banyak.
Selain kekayaan alam Indonesia juga memiliki keindahan alam yang sangat menakjubkan karena terletak diantara garis khatulistiwa, iklim tropis yang begitu menyenangkan banyak orang yang ingin menikmati keindahan alam Indonesia. Menikmati sinar hangat matahari di Indonesia. Ini justru kebalikan bagi orang Indonesia mereka terlalu malu untuk menikmati keindahan alam Indonesia, banyak dari kita yang justru malah bangga dengan keadaan di luar negeri dan berwisata di luar negeri. Mungkin karena gengsi dan biaya yang lebih murah.
Lihat indahnya laut indonesia seperti di wilayah bali, lombok, borneo, karimun jawa, raja ampat, dan pantai2 lain yang tersebar di wilayah selatan pulau jawa ataupun yang pulau lainnya. Pantai yang menjadi simbol keindahan alam tanah air kita, hanya dijadikan sebagai ajang untuk liburan untuk wisata secara lariyah. Mereka yang berlibur ke pantai datang air bermain pasir, seperti buih mereka hanya datang untuk melepas kesumpekan yang mereka rasakan dalam kesehariannya.
Keindahan pantai itu tak benar benar mereka nikmati secara batianiah, bahwa laut dan pantai itu mencirminkan keadaan semesta yang begitu luasnya. Kita hanya ibarat buih di pantai dengan lautan yang luas. Betapa kecilnya kita, tapi kenapa masih juga sombong. “(Manusia itu ibarat buih yang hanya beriuh rendah di pantai tanpa menyadari adanya lautan. Seperti bumi ini hanya bagian kecil dari alam semesta)”. Bahkan keindahan pantai yang mereka nikmati itu tidak dijaga, banyak yang meninggalkan sampah di pantai tanpa mereka sadari itu bisa merusak keindahanya.
Alasan untuk pergi berwisata ke alam adalah untuk menikmati ciptaan Tuhan untuk mengakui keindahan ciptaan Tuhan, tapi mereka mengingkari itu banyak yang malah justru merusaknya. Lawong dalam keseharian saja banyak yang meninggalkan rumah Tuhan (rumah ibadah), kok kalau berwisata ngakunya mau menikmati alam yang indah ciptaan Tuhan, Apa gak Jancuk itu namanya???.
 Negara besar dengan sejuta kesemrawutanya ini belum cukup dewasa untuk mengetahui dirinya, orang-orang penting yang ada di dalam negeri ini masih sibuk mencari nama untuk diri dan golongannya. Hanya sesekali bicara tentang keindahan indonesia. Sedikit bumbu atas nama rakyat dan kemakmuran, mereka mengeruk keuntungan dari program yang akan mereka jalankan, dan tak banyak yang bisa mengevaluasi program-program kerja yang akan mereka jalankan itu apakah mengenai sasaran tentang kemakmuran atau tidak.
Negara memungut pajak dari rakyatnya, dan pemungutan yang besar itu berasal dari perusahaan yang ada di Indonesia, tapi tidak sedikit perusahaan yang mempermainkan pungutan pajaknya yang untuk kesejahteraan karyawanya, itu pembelaan perusahaan berdasarkan tax planning yang pernah saya pelajari dulu. Tax planning di negeri ini memang legal tapi menurut saya itu celah melegalkan suatu yang ilegal, heheuu.
Pajak dan kekayaan alam Indonesia sebenarnya sudah sangat cukup untuk membuat masyarakat indonesia adil dan makmur secara merata, kalau saja pelaksanaanya benar sesuai dengan konstitusi negara kita. Uang pajak seharussnya bisa menyediakan fasilitas yang bisa merangsang kreativitas warga negara terutama anak muda, berikan ruang untuk berekspresi bukan ruang untuk berkorupsi.
Atas nama kemakmuran tidak sedikit dari masyarakat kita yang mengejar kemakmuran sampai ke luar negeri walaupun dengan ilmu dan keahlian yang pas-pasan sebut saja Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dengan iming – iming gaji yang besar mereka bersedia pergi menjadi TKI. Andai saja negara di dunia ini seperti negara – negara di eropa yang tidak menerima TKIvmungkin saja Indonesia sudah jadi negara maju, karena Indonesia tidak bisa mengekpor komoditi berharganya yaitu TKI ke luar negeri.
Tanah yang subur ini, saat ini banyak dipercayakan pengelolaannya kepada orang – orang asing, perusahaan besar di Indonesia banyak di miliki orang asing. Masyarakat kita hanya jadi pembantu di negeri sendiri, mungkin TKI itu menganggap lebih bermartabat jadi pembantu di negeri orang dari pada jadi pembantu di negeri sendiri. Ini sangat ironis, seharusnya pemerintah bisa lebih menciptakan banyak peluang dan lapangan kerja bagi mereka karena Inonesia ini adalah negeri yang subur.
Pemerintah harus bisa mencetak pengusaha – pengusaha muda, jadikan profesi petani dan nelayan itu profesi yang lebih unggul dari pada Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selama ini terlalu banyak uang negara habis untuk mensejahterkan aparaturnya sehingga lupa mensejahterakan rakyatnya. Ciptakan iklim yang bisa membuat anak mudanya tidak bermalas-malasan dan tidak bergantung dengan pendidikan formal mereka.
Masyarakat negeri ini terlalu sibuk memikirkan isi perutnya sendiri, saat lapar saja sudah tidak peduli apalagi ketika kenyang mereka semakin lupa dengan tanggung jawab untuk negerinya. Tempat dimana mereka tinggali hanya jadi sebuah tempat berpijak tanpa ada rasa ingin merawat dan menjaga alam termasuk peduli dengan orang lain. Mereka hanya bisa merusak dan merusaknya. Rusaklah semua, negeri dengan air yang berlimpah kini banyak yang kekuarangan air bersih, negeri dengan sawah yang luas kini banyak impor beras, negeri yang luas dengan pemikirin sempit masyarakatnya, negeri surga ini sepertinya mau direbut dengan cara pembodohan masyarakat secara perlahan lahan. Kita tak mau itu terjadi tapi perilaku kita mendukung itu terwujud. Damn!!
Sebagai contoh buang sampah sembarangan, kita sering kali tak peduli dengan sempah sekecil apapun ketika musim kemarau, akan tetapi saat musim hujan tiba sampah-sampah yang menumpuk itu bisa menyebabkan banjir dan kerusakan lingkungan. Dan ketika banjir itu datang alamlah yang dijadikan kambing hitam, bukannya dijadikan introspeksi. Itulah yang selalu terjadi setiap tahunnya. Kemudian kita baru peduli dan bergotong royong untuk membersihkan sampah.
Seharusnya negeri ini masif dalam mengampanyekan gerakan jangan buang sampah sembarangan, bukannya masif kampenya dalam pemilihan caleg saja. Lawong batu akik saja bisa menjamur di negeri ini, kenapa kampenya jangan buang sampah sembarangan tidak bisa. Apa gak jancuk itu namanya??
Ada sebuah cerita tentang sampah dari temen saya, nama panggilanya “babe”. Rambutnya yang kriting dan tingkahnya yang unik dan berkomitmen terhadap suatu masalah yang mungkin remeh bagi orang lain. Pernah suatu ketika dia bercerita, saat berada di loker perusahaan tempat dia bekerja, dia selalu memunguti sampah plastik bekas makanan atapun bungkus permen disekitar tempat itu dan membuangnya di tempat sampah. Dan ketika itu juga ada seorang temannya yang menyeletuk “mbok biaran aja sampahnya di situ, lagian juga ada petugasnya yang memunguti sampah, kamu ga usah repot-repot” (kalimat itu diucapkan dalam bahasa jawa). Tak hanya itu orang2 disekitarnya juga melihat dengan penuh keheranan, dan mungkin berkata dalam hati “orang yang aneh”.
Si babe itu pun tak menggubris pernyataan temannya, malah sampah plastik bekas makanan yang masih berserakan di sekitar tempat sampah dia punguti dan dimasukkan dalam tempat sampah. Sampai saat ini setelah saya konfirmasi dia masih melakukan hal itu dan dia juga suka mengantongi bungkus permen yang dia makan ketika tak ada tempat sampah, dan membuangnya selagi nemu tempat sampah. Dari contoh kecil si babe tadi dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa melakukan hal yang baik dan itu malah dianggap tabu oleh orang di sekitar kita. Suatu hal yang salah akan menjadi benar ketika itu terus menerus dilakukan, dan hal kebenaran yang sejati akan menjadi salah. Apa ga jancuk masyarakat yang seperti itu??? dan mungkin saya juga termasuk masayakarat yang jancuk itu tapi tipis, heheuu.
Sampah suatu yang remeh temeh tapi penting. Coba bayangkan jika di pemukimanmu tidak ada tukan sampah keliling yang bersedia membuang sampah raumah tanggamu. Pasti kalian akan membuang sampah itu di kali (sungai), itu tidak menyelesaikan msalah tapi malah menambah masalah. Masih ada lho warga yang membuang sampah rumah tangganya di kali (sungai). Kok ga ada petugas yang berwenang yang memberitahu dan menegurnya. Hei para pamong negara buatlah aturan yang mengikat tentang membuang sampah terutama sampah rumah tangga.
Selain belum dewasa, negeri ini juga latah, salah satu contoh latah yang paling hidup yang konsumerisme. Budaya konsumtif sudah melekat pada masayarakat kita. Kita membeli sesuatu barang bukan untuk menikmati fungsi barang itu tapi justru lebih banyak ingin pamer dan buat gaya2an biar keliatan gaul dan modern. Bersaing untuk menjadi manusia yang super modern dan tidak ketinggalan jaman dengan menerobos etika-etika yang ada. Latah budaya dan bahasa, kita tahu akhir-akhir ini banya budaya luar negeri yang masuk ke indonesia, salah satu yang paling berpengaruh adalah K-pop. Budaya dari negeri gingseng itu secara masif masuk ke Indonesia tanpa bisa kita filter.
Selain budaya dari negeri gingseng, budaya dari India akhir-akhir ini menyerbu kedalam media di tanah air. Cerita tentang wayang Ramayana dan Mahabharata dibungkus secara modern dan menarik perhatian kalangan pecinta sinetron, menurut saya bukan karena ceritanya tapi karena pemainnya. Cerita wayang Ramayana dan Mahabharata di Indonesia ini saya yakin lebih menarik karena ada sosok punokawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) yang lucu dan penuh nasihat yang selalu menjadi tokoh dalam “goro-goro”. Cerita wayang dari tanah airpun sekarang semakin sedikit orang yang mengenalnya. Mungkin karena sangat terbatasnya ruang dan media untuk mementaskanya. “Trok tok tok tok biaya mengundang dalang mahal harganya cuk”, (terdengar suara aneh yang masuk dalam pikiranku).
Masyarakat menganggap budaya luar itu keren, gaul, modern, la “ndasmu” itu yang keren, bangga kok dengan budaya orang lain, tanpa kamu mengerti budaya kita sendiri, tanpa kamu kenal budaya kita sendiri, atau mungkin memang budaya kita yang tidak memeperkenalkan diri semasif budaya korea. Apa hal seperti ini ga jancuk namanya?. Atau, mungkin mereka menganggap budaya kita itu kuno. Kita punya seabrek budaya yang kalau dipelajari akan lebih lama dari pada mempelajari terpisahnya korea jadi dua bagian utara dan selatan.
Gadget dan smartphone banyak yang tidak digunakan sebagai mana fungsinya yang utama, banyak dari kita yang hanya menggunakanya pada takaran fungsi yang bukan utama. Padalah provider di negara ini belum siap menyambut kehadiran smartphone yang fungsi dari benda itu berbasis internet.
Bermacam informasi bisa kita peroleh dengan cepat, secepat kilat sebelum guntur datang menggelegar. Banyak dari kita yang memporelah informasi itu di telan mentah-mentah, tidak jelas sumber kebenaranya, pokoknya langsung kita terima dan bahkan langsung pula kita sebarkan semacam gosip. Lhah memangnya kalian ini presenter berita atau atau infotainment kok main sebar menyebar informasi seperti kalau di media sosial namnya broadcast message. Jadilah pengguna smarphone yang cerdas, jangan cuma ikut-ikutan. Sepertinya kata “we live in the era of smartphone and stupid people”.
 Tak jarang pula informasi yang belum jelas kebenaranya itu memacu timbulnya konflik. Dan terkadang media justru memperbesar konflik tanpa ada penyelesain bersama yang jelas dan saling merangkul. Media hanya menggambarkan perbedaan-perbedaan informasi atau pendapat yang ga jelas arahnya untuk sebuah persatuan.
Televisi yang selalu menyiarkan budaya negara lain, itu salah satu contoh pembodohan masyarakat. Pemerintah tidak memfilternya, ini mendorong terkikisnya nilai budaya bangsa Indonesia, kita bangsa yang mempunya ratusan bahkan ribuan budaya yang tak dibina atau diberi kesempatan lebih untuk bisa tampil di negerinya sendiri. Justru malah budaya asing yang diberi posisi lebih untuk bisa memperkenalkan diri.
Tayangan televisi yang sudah tidak lagi mempedulikan aspek budaya lokal, televisi yang hanya hanya mementingkan perutnya sendiri. Banyak program televisi yang tak mencerminkan Aku Cinta Indonesia. Mungkin bagian luarnya mereka bungkus dengan aspek budaya Indonesia tapi isi cerita sama sekali melenceng dari budaya masyarakat Indonesia.
Tanah air yang kucintai ini tidak bisa menjadi maju oleh satu atau sekelompok orang yang peduli dengan Indonesia, harus ada peran dari semua warga negara. Peradapan suatu bangsa dapat dirubah dengan semua dukungan dan peran serta rakyatnya. Kekecewaan terhadap pejabat negara dan pemerintahan jangan dijadikan sikap apatis terhadap bangsa dan negara ini. Melalui budaya kita bangun kembali Indonesia jadi lebih baik dan maju. Melalui peran serta sesuai dengan keahlian kita masing-masing, wujudkan Nusantara yang sejahtera.
Akan tetapi terkadang saya berpikir warga yang tak peduli dengan kondisi negaranya itu memang menginginkan Indonesia tidak maju, menginginkan Indonesia hanya sebagai negara dunia ketiga. Mereka berpikir toh negara juga tak pernah mengurusi perut warganya. Atau mereka yang apatis itu hanya ingin menikmati hasilnya tanpa harus berperan. Jangan jadi rakyat yang tidak siap mengisi kemerdekaan, atau jangan jadi rakyat yang salah dalam mengisi kemerdekaan karena kemerdekaan bukan kebebasan yang tak terbatas. Untuk generasi muda jadilah rakyat yang berperan, dan banggalah untuk “mengindonesiakan Indonesia”.

Salam J#cuk
Aku Cinta Indonesia!!


schTz
03.06.2015
Share: