Sabtu, 16 Mei 2015

Sunyi itu bukan berarti sepi



Sepi, gelap, dan sedikit dingin, malam ini cuaca di luar gerimis dan mengurung ragaku agar tetap tinggal di rumah ini. Rasa dingin kini sudah terslamurkan dengan rokok dan kopi yang menemani kesendirianku. Malam ini tak ada bintang, tak ada angin, hanya suara gemericik air yang menetes di genting rumahku. Sang bulan tak kelihatan terangnya dia bersembunyi dibalik awan gelap di atas sana. Aku menikmati sunyi ini bukan berarti aku suka sendiri, tapi aku menikmati ini karena aku kurang suka dengan kebisingan dan keramaian yang semu. Keramain malam yang menunjukkan keangkuhan orang-orang dimana mereka terhanyut di dalam kesombonganya.
Malam ini kunikmati sunyi karena aku sedang rindu serindu-rindunya dengan nyanyian kedamaian, nyanyian alam semesta yang tak semua orang bisa peduli dengan kedamain yang alam ciptakan. Suara gemericik air hujan ini sedikit mengobatiku akan nyanyian rindu itu. Aku merindukan dongeng orang tua tentang ajaran kebaikan, tentang kehidupan. Cerita kancil “nyolong” (mencuri) timun, tentang harimau yang terjebak dalam lubang di dalam hutan. Dongeng yang sudah lama menghilang yang mana orang tua sekarang sudah malas atau terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kesehariannya sehingga lupa untuk memberikan dongeng-dongeng itu pada anak-anaknya.
Bagaimana tidak, kancil yang bertubuh kecil itu selalu bisa mengelabui pak tani, gajah, dan harimau. Pikirannya yang cerdik dan pandai kadang banyak yang ditiru oleh manusia. Manusia banyak yang menjadi kancil-kancil kecil dalam menjalani hidupnya, tepatnya mereka menjadi penjilat atas orang lain yang bisa menguntungkan bagi dirinya sendiri.
Tak sedikit dari manusia-manusia itu yang kehilangan akal sejatinya bahwa mereka adalah manusia. Mereka terjebak menjadi mesin-mesin modernisasi yang mereka ciptakan sendiri. Mereka terlalu silau memandang kemewahan sebagai lambang utama dari kesuksekan hidupnya, seperti menatap kilaunya batu akik yang sedang membumi dan memainkan monopolinya di negeri ini. Kesuksesan hanya sekedar terlihat dipermukaan yang yang dilambangkan dengan harta dan jabatan, tanpa memikirkan dan peduli mengenai harta dan jabatan itu berguna baik bagi lingkungannya atau tidak, bahkan sesungguhnya kesuksesan yang mereka pamerkan itu tidak berguna bagi dirinya. Terjebak dalam sinar yang terlalu terang sehingga menyilaukan batinnya.
Kesunyian ini membuatku rindu akan ajaran Nabi besar Muhammad SAW, walaupun aku belum bisa mempelajarinya dengan baik dan serius. Aku yakin Rosullulah SAW pasti akan bersedih apabila beliau kembali lagi pada zaman sekarang, ajaran yang beliau ajarkan sudah banyak dilupakan oleh sebagian besar umat manusia saat ini. Beliau sudah susah payah membawa umat maanusia dari zaman jahilliyah ke zaman terang benderang seperti sekarang ini, bahkan sampai menyilaukan sekali zaman modern ini.
Perjuangan yang beliau lakukan banyak yang disalahartikan bahkan oleh umatnya sendiri, yaitu umat islam. Agama menjadi salah satu penyebab perceraian dan peperangan antar umat manusia, walaupun sebenarnya itu bukan mutlak masalah agama, tetapi agama dijadikan isu yang sangat sensitif di antara umat manusia.
Mereka pemeluk agama radikal memutuskan sendiri bahwa agama tanpa mereka sadari membuat kita sebagai manusia menjadi terkotak-kotak kolompok yang saling terpisah satu dengan yang lainnya. Agama dijadikan ajang pembenaran, bukan dijadikan sesuatu perbedaan yang indah dan saling menghormati satu sama lain. Bukankah hakekatnya orang beragama itu tidak saling membenci satu sama lain, bukankah kita hidup ini saling bergantungan satu dengan yang lain. Misalnya petani, mereka membutuhkan benih, pupuk, pengairan yang baik, membutuhkan penjual uttuk menjual hasil panennya, membutuhkan konsumen untuk membeli hasil panennya, kita hidup saling ketergantungan kalau dalam biologi disebut simbiosis mutualisme, saling ketergantungan yang menguntungkan.
Misalnya pak tani sebagai umat muslim, apakah harus membeli pupuk dari umat muslim juga atau apa kalau membeli sesuatu kita menanyakan agamanya dulu. Setiap agama punya batasan-batasanya sendiri dan tak perlu dibesar-besarkan sehingga menjadi masalah yang akhirnya bisa memecah belah, saling menghormati itu lebih penting. Aku rindu kedamaian, aku membayangkan jika manusia itu bisa melepaskan jubah kesombongannya, pasti dunia ini akan lebih hijau dan akan terlihat seperti surga.
Gelap yang menyelimuti langit membuatku bertanya dalam hati, apakah ada makhluk lain yang hidup selain di planet bumi?. Aku melihat semesta ini begitu luas, dan kebanyakan manusia hanya berfokus pada masalah di bumi, aku meresa sebagai manusia adalah makhuk yang kecil dibanding semesta yang membentang di atas langit sana. Eitss kita tidak tahu adalah bumi itu terletak di atas atau di bawah langit, karena bumi itu bulat, yang aku tahu kita ada di dalam susunan langit ciptaan-Nya.
Apakah planet-planet lain juga berpenghuni dan memilik aturan seperti di bumi. Apakah planet lain di alam semesta ini seindah bumi. Aku tak akan mencari jawaban itu, ilmu dan pikiranku terbatas pada raga yang berpeluh dan berkeringat ini. Aku ini cuma seperti bakteri berebut mencari makan dan membentuk spora-spora yang mengotori kopi hitam ini. Aku hanya sebuah bakteri dari serbuk kopi yang sudah membusuk dan dituangkan kedalam lautan yang disebut semesta. Aku tak lebih besar dari itu, aku tak lebih besar dari buih-buih yang disapu ombak di pantai.
Akhirnya aku pun bisa tertawa, dalam dunia yang sempit dan dalam waktu relatif  seperti dalam teori einsten dengan segala keriuhan dan kesombonganya, manusia rela meninggalkan sunyi yang hadir sebentar dalam setiap malamnya, untuk tidak merenungkan tentang diri, alam semesta, dan penciptanya. Manusia sibuk memikirkan perutnya, dan bahkan lupa bahwa isi perut itu harus mereka buang setiap paginya, jadi percuma kalau manusia terlalu sibuk untuk memikirkan sesuatu yang akan dibuangnya. Sunyi itu ibarat senja,  akan hilang begitu saja bila tak merasakan kehadirannnya.
Dan sebagai penutup aku hadirkan sunyi dalam sebuah puisi

                                                Sunyi
Malampun jadi bisu, ketika kita tinggalkan yang namanya kalbu
Malampun jadi haru, ketika kita bisa rasakan Tuhan dalam kalbu
Hanya sedikit tetesan rindu
Sunyi ini akan jadi indah jika ingat kebesaranMu
Siang terlalu sibuk untuk sesuatu, seperti mesin-mesin yang tak berkalbu
Manusia lupa dengan amanahnya
Manusia lupa dengan kewajibannya
Manusia kini hanya menjadi sebuah mesin pendorong bagi hawa nafsunya
Kembalilah wahai manusia
Kembalilah menjadi penjaga bumi, bukan perusak bumi




schTz
     11-04-2015
Share:

1 komentar: